Para Pendekar Dari Padepokan Gelagah Wangi

S. Tidjab dikenal sebagai penulis skenario sandiwara radio yang handal. Selain serial sandiwara radio Saur Sepuh yang ditulis oleh Niki Kosasih, Tutur Tinular, Kaca Benggala dan Mahkota Mayangkara karangan Tidjab telah merajalela di ruang dengar penikmat radio di era tahun 1980 hingga 1990-an. Kala itu, sandiwara radio karyanya disiarkan di lebih dari 400 radio di seluruh tanah air.
Tokoh rekaannya, seperti Arya Kamandanu, Arya Dwipangga, dan Mei Sin, pun berkelindan masuk ke dalam ingatan anak-anak muda pada saat itu. Karyanya kemudian diubah juga ke layar lebar maupun layar kaca.
Namun, era sandiwara radio redup dan tergantikan dengan suguhan layar kaca yang bisa memanjakan telinga dan mata sekaligus. Orang pun tak bisa mendengar lagi sepak terjang Arya Kamandanu, rintihan kesedihan Mei Sin dan lantunan puisi rayuan Arya Dwipangga serta ampuhnya kilatan pedang Naga Puspa.
Pria kelahiran Solo, 1946 itu kemudian berusaha mengobati kerinduan akan hiburan yang memanjakan indra pendengar dengan mengudarakan kembali sebuah serial sandiwara radio pada 2007. Karyanya yang mengambil judul puitis Pelangi di Atas Gelagahwangi disiarkan serentak oleh lebih dari 100 radio di seluruh tanah air.
Ia masih konsisten dengan roman berlatar belakang sejarah. Kali ini, Tidjab mencipta karya berdasarkan pada Babad Tanah Jawi yang bercerita tentang munculnya Kerajaan Islam pertama kali di tanah Jawa: Demak Bintoro. Pelangi menerangi Gelagah Wangi, asal muasal Demak, yang tumbuh menjelang runtuhnya Kerajaan Hindu Syiwa terbesar di Nusantara: Majapahit.
Tidjab kemudian mencoba peruntungan dengan media bertutur yang lain. Skenario Pelangi di Atas Gelagahwangi : Drama Cinta di Senja Kala Majapahit itu didandani menjadi sebuah novel dengan judul yang sama. Novel tersebut diterbitkan kemudian oleh Penerbit Qanita baru-baru ini.
Tidjab kini sebagai dalang bagi tokoh sentral fiktifnya, seperti Mpu Janardana, Woro Kembangsore, Endang Kusumadewi, Endang Puspitasari, dan Resi Wiyasa, dipadu dengan tokoh yang ada dalam fakta sejarah, seperti Raden Patah sang pendiri Demak.
Kisah novel ini diawali dari kehidupan di dua padepokan yang mengajarkan ilmu agama dan kanuragan, Antahpura dan Indrakila. Kedua padepokan tersebut dipimpin oleh dua saudara seperguruan, Mpu Janardana dan Resi Wiyasa. Kunjungan Mpu Janardana bersama adik angkatnya, Woro Kembangsore, ke padepokan kakak seperguruannya itu mengawali kisah cinta segi empat yang mengharubiru hingga halaman terakhir buku tersebut.
Mpu Janardana, yang masih lajang meski sudah berumur, dicintai oleh adik angkatnya sendiri, Woro Kembangsore. Anak bungsu sang resi, Endang Kusumadewi, juga jatuh hati ke perjaka tua nan tampan itu. Hal ini kemudian membawa konflik cinta tak berbalas, karena Janardana lebih memilih kakak Kusumadewi, Endang Puspitasari, yang tiba-tiba berubah cantik jelita setelah menguasai ilmu Rikma Sidi atau ilmu Rembulan Dingin. Ilmu yang meningkatkan keindahan seorang perempuan pada puncaknya sekaligus membawa pemiliknya pada kematangan ilmu kanuragan.
Setelah pernikahan Mpu Janardana dengan Endang Puspitasari, maka dua gadis yang sama-sama jatuh cinta pada Mpu Janardana memutuskan meninggalkan masing-masing padepokannya untuk mengembara menghilangkan kepedihan hati. Dalam pengembaraanya, Kembangsore dan Kusumadewi berlabuh di tempat yang sama, Kotaraja Majapahit.
Woro Kembangsore bertemu dengan Raden Bondan Kajawen, putra Maharaja Majapahit. Ia kemudian menjadi dayang istana. Lalu, Endang Kusumadewi bertemu dengan Adipati Pecattnanda yang kemudian menjadikanya sebagai pengawal pribadi.
Sementara itu, Mpu Janardana melakukan perjalanan untuk mengobati rasa bersalahnya dengan mencari adik iparnya, Endang Kusumadewi. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Raden Patah. Pertemuan itu membawa perubahan dalam hidupnya. Ia kemudian berpindah keyakinan menjadi penganut agama Islam dan menjadi santri di Gelagahwangi. Endang Puspitasari, yang menyusulnya kemudianm juga mengikuti keyakinan baru suaminya.
Berkembang-pesatnya Gelagahwangi sebagai pusat pengembangan Islam di tengah tlatah Majapahit yang menganut kepercayaan Hindu kemudian menimbulkan gesekan yang berujung perang. Janardana, yang sudah berganti nama menjadi Abdul Rochim, dan istrinya berdiri di pihak Gelagahwangi. Adapun Endang Kusumadewi dan Kembangsore membela panji Wilwatikta.
Kilatan pedang dan keris serta adu ajian sakti mandraguna menjadi bumbu yang mewarnai kelanjutan cerita novel ini. Majapahit yang sudah uzur kemudian tak kuasa menantang perubahan yang dibawa dari Gelagahwangi. “Sirna Ilang Kertaning Bumi” yang berkali-kali disebut Maharaja Majapahit Prabu Brawijaya dalam pelarianya sambil memandangi istananya yang terbakar menjadi penanda berakhirnya sebuah kekuasaan besar di Nusantara. Segala yang ada memang mesti berakhir, tumbuh dan berkembang mengikuti hukum alam dan berputar seperti layaknya Cakra Manggilingan.
Tidjab cukup berhasil menyajikan cerita silat yang seru. Ia pun pandai mengaduk emosi dengan menyajikan kisah pengorbanan dan cinta segiempat Janardana, Kembangsore, Kusumadewi dan Puspitasari. Ia juga mencoba menyampaikan pesan moral melalui kearifan Prabu Brawijaya dan kebijaksanaan Resi Wiyasa yang memuja pluralisme dan kebebasan beragama.
Secara keseluruhan novel setebal 704 halaman tersebut disajikan dengan cukup runut dengan dialog yang cukup detail. Konflik yang tajam tidak membuat cerita menjadi sulit dipahami. Sayang, Tidjab kurang sempurna mengkonversikan rangsangan audio yang menimbulkan imajinasi hebat dalam sandiwara radio itu ke dalam bahasa tulis.
Rintihan hati Kembangsore ataupun Kusumadewi yang merana karena cinta tak sepenuhnya mengena. Riuh rendah pertarungan, deru ajian sakti Pangracut Sukma yang beradu dengan ajian Rembulan Dingin atau pun derap kuda yang melaju kencang tak hadir utuh.
Tidjab dalam kata pengatar yang ditulisnya memang telah sadar bahwa sandiwara radio dan novel adalah dua media yang sangat berbeda karakter. Radio mengandalkan rangsangan auditif yang menjadi keahliannya, sementara novel amat bergantung terhadap gaya bertutur tulisan. Memahami isi cerita sandiwara radio tak perlu keahlian membaca, sedangkan imajinasi yang dihasilkan dari membaca kurang bisa didekati oleh karakter sandiwara radio.
Namun, Tidjab masih memiliki segudang naskah sandiwara radio fenomenal yang menunggu digubah menjadi novel yang gurih dibaca. Mahkota Mayangkara, Tutur Tinular, dan Kaca Benggala menunggu mantra ampuhnya. Dan, setidaknya pintu bangkitnya cerita silat asli Indonesia telah terbuka lebar.
Tulisan gue, pernah dimuat d Koran Tempo, 2008.
igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

1 Response to "Para Pendekar Dari Padepokan Gelagah Wangi"

Riezz said...

Gelagah wangi gemien jeneng desaku sebelum ganti Karangtengah.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel